Kamis, 01 Agustus 2013

Sejarah Pelayanan Pendidikan Anak Dengan Gangguan Motorik


TUGAS MATA KULIAH
ORTOPEDAGOGIK ANAK DENGAN GANGGUAN MOTORIK
Disusun guna memenuhi mata kuliah ortopedagogik tentang sejarah pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik

Dosen Pengampu : Drs. A. Salim Choiri, M.Kes.
Dewi Sri Rejeki, S.Pd., M.Pd.


Disusun oleh :

M. Farid Abraham                  (K5112046)
Muhammad Fahri A.               (K5112047)
Rahmad Adi Wibowo             (K5112059)
Rizki Dian Puspa                    (K5112062)
Septika Puji Astuti                  (K5112065)
Wara Rukmi M.                      (K5112073)
Whannik Riptiningsih             (K5112074)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR BIASA
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2012
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................   1
DAFTAR ISI  ............................................................................................................   2
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................   3
A.      Latar Belakang ....................................................................................................    3
B.       Rumusan Masalah ................................................................................................   3
C.       Tujuan ..................................................................................................................  3
D.      Manfaat ................................................................................................................  4

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................   5

A.      Sejarah Pelayanan Pendidikan
Anak Dengan Gangguan Motorik .........................................................................    5

BAB III  PENUTUP  .................................................................................................    10

A.      Kesimpulan ...........................................................................................................   10
B.       Saran ....................................................................................................................   11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................   12



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Anak dengan gangguan motorik biasa disebut dengan istilah anak tunadaksa. Tunadaksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan fisik dan kesehatan yang biasa terjadi pada tulang, otot, serta sendi sebagai akibat dari kerusakan otak atau saraf tulang belakang. Jadi, anak tunadaksa adlah seseorang yang yang mengalami kelainan tubuh pada tulang, otot, dan sendi yang disebabkan oleh kerusakan otak atau saraf tulang belakang, sehingga bagian tubuh yanng mengalami kelainan tidak dapat berfungsi secara normal.
Pada mulanya, anak tunadaksa dianggap sebagai anak yang tidak berguna dan tidak pantas untuk hidup. Anak tunadaksa bahkan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi bahkan dikucilkan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, anak tunadaksa mulai dipandang sebagai manusia normal pada umumnya. Anak tunadaksa telah diakui keberadaannya, dilindungi, dan telah diakui hak – haknya termasuk hak untuk mendapatkan layanan pendidikan. Lalu, bagaiman sejarah dan proses perkembangan pelayanan pendidikan snsk dengan gangguan motorik atau tunadaksa tersebut? Dalam makalah ini akan dijabarkan sejarah dan perkembangan pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik atau tunadaksa.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah dalam makalah ini adalah bagaimana sejarah dan perkembangan pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik?

C.       Tujuan
            Tujuan dari penulisan makalah ini, sebagai berikut :
1.    Membantu mahasiswa program studi Pendidikan Luar Biasa dalam memahami sejarah dan proses perkembangan pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik
2.    Memberikan referensi mengenai sejarah dan perkembangan pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik
D.      Manfaat
             Manfaat dari penulisan makalah ini, sebagai berikut :
1.    Mahasiswa program studi Pendidikan Luar Biasa dapat memahami sejarah dan proses perkembangan pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik
2.    Mahasiswa program studi Pendidikan Luar Biasa mendapatkan referensi mengenai sejarah dan perkembangan pelayanan pendidikan anak dengan gangguan motorik


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah dan Perkembangan Pelayanan Pendidikan Anak dengan Gangguan Motorik

Anak dengan gangguan motorik atau biasa disebut dengan istilah anak tunadaksa erat hubungannya dengan anak cacat yang tidak berguna. Anak-anak tunadaksa (cripple) pada zaman Renaissance pernah disebutnya sebagai setan (satan) yang disejajarkan dengan makhluk jahat (evil) dan tidak pantas untuk diberi hidup. Dengan demikian tidak ada artinya sama sekali keberadaan anak-anak tunadaksa.
Namun dengan perkembangan, perhatian masyarakat baik di Indonesia maupun dunia mulai menyadari keberadaan anak tunadaksa atau anak dengan gangguan motorik. Masyarakat mulai mengakui keberadaan dan mulai menyadari bahwa anak tunadaksa tersebut memiliki potensi seperti anak normal jika mendapatkan pelatihan atau pelayanan pendidikan yanng tepat. Oleh karena itu, perkembangan pelayanan pendidikan yang dipelopori oleh para ahli mulai berkembang di seluruh dunia.
Dr. William John Little merupakan seoranng ahli ilmu kedokteran yang pertama kali tertarik meneliti dan menolong anak – anak yang menunjukkan gejala spastik diplegia pada tahun 1861. Hasil kerja Dr. William John Little kemudian diikuti ahli – ahli lain, seperti Dr. Sigmund Freud (1883) dan Sir Willian Osler (1889).
Berdirinya rumah sakit yang menerima pasien - pasien tunadaksa di Boston tahun 1862, yang kemudian menyebar ke negara-negara lain. Penyebaran perkembangan  pelayanan bagi anak tunadaksa terutama dalam aspek pendidikan di dunia, diantaranya :
v  Di Amerika Serikat, Winthrop Phelps dan Earl Carlson merupakan praktisi di bidang kedokteran yang memelopori pemberian pertolongan dan pelayanan bagi anak tunadaksa. Winthrop Phelps menekankan bentuk bantuan anak tunadaksa pada aspek kedokteran seperti fisioterapi dan penggunaan brances. Sementara Earl Carlson tertarik mengamati anak tunadaksa sejak lahir dan memberikan pertolongan tertentu sesuai dengan kebutuhan anak tunadaksa tersebut baik pada aspek medik maupun aspek sosial psikologis. Meski perhatian pelayanan anak tunadaksa mengalami perkembangan, namun pusat perhatiannya masih tertuju pada kasus – kasus yanng bersifat individual. Tempat pelayanan masih berada di rumah sakit atau di samping klinik – klinik ortopedi tanpa guru khusus untuk tunadaksa. Tidak jelas program pendidikan dan jenjanng pendidikannya. Pada umumnya materi pelajaran yang diajarkan terutama latihan sensomotoris, latihan sosialisasi, dan beberapa bentuk kegiatan praktis ADL (Activity Daily Living). Bahkan anak tunadaksa langsung diberikan latihan vokasional, seperti pendidikan menjahit, fotografi, membuat boneka, hingga reparasi jam. Baru pada tahun 1945 di Amerika Serikat berdiri sekolah swasta yang bernama School of Earl Carlson di Hampton Timur, dan Long Island melengkapi Children’s Rehabilitation Centre di Cockeyville dekat Baltimre di bawah penanggung jawab Winthrop Phelps.
v  Di Australia, pelayanan pendidikan anak tunadaksa telah dirintis sejak abad ke 18, namun baru berkembang pada tahun 1945 dengan berdirinya Pusat Pelayanan Anak Cerebral Palsydi Adelaide. Perkembangn pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa dipelopori oleh Mr. dan Mrs. Mcleod serta Dr. Claudia Burton sebagai direktur bidang medis yang juga dibantu oleh dua orang dokter sebagai staf. Pada tahun 1946, Pusat Pelayanan Anak Cerebral Palsy dilengkapi dengan sekolah untuk anak Cerebral Palsy (Spastic School) dengan biaya operasional ditanggung oleh “Education Department of New South Wales”. Tidak seluruh peserta didik di Pusat Pelayanan Anak Cerebral Palsy mengikuti pendidikan di sekolah. Hanya peserta didik yang berdasarkan asesmen memungkinkan dapat dikembangkan kemampuannya yang menjadi siswa di sekolah Cerebral Palsy. Terdapat 4 hingga 6 orang peserta didik untuk setiap kelas agar proses pembelajaran efisien. Dalam perkembangannya, sekolah Cerebral Palsy dilengkapikapi dengan Taman Kanak – Kanak Cerebral Palsy (Kindergarten). Pengelolaan Taman Kanak – Kanak Cerebrl Palsy dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anak yang memerlukan alat bantu ambulasi dan kelompok yang tidak memerlukan alat bantu ambulasi. Namun, secara keselurihan, peserta didik mendapatkan pertolonhan dari ahli okupasional dalam hal bimbingan perkembangan fisik dan psikis untuk memperbaiki sikap tubuh dan penyesuaian sosial anak. Perkembangan pelayanan anak tunadaksa di Australia menyebar ke kota – kota lain dengan cepat. Pada umumnya, pendiri pusat – pusat pelayanan anak tunadaksa dimulai oleh pihak swasta atau yayasan. Setelah lembaga dapat berdiri, baru kemudian Departemen Pendidikan Australia membentu biaya penyelenggaraannya. Demikian juga dengan bidang guru khusus, kurikulum, alat – alat pendidikan, dan lain – lain.

v  Di Inggris, pertolongan dan pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa dimulai dari kasus – kasus
     Cerebral Palsy secara individual. Pada tahun 1941, Henry Weston merupakan orang pertama yang memberikan pelayanan dan pertolongan pada anak tunadaksa (Cerebral Palsy), setelah mempelajari cara – cara kerja yang dilakukan oleh Phelps dan Croydon yang sekaligus menyelenggarakan asrama bagi anak – anak tunadaksa. Tahun 1948, jumlah sekolah untuk anak tunadaksa bertambah dua buah, yaitu Westerlea di Edinberg dan Carlson House School di Birmingham. Kedua sekolah tersebut memiliki peranan penting bagi perkembangan pelayanan pendidikan anak tunadaksa terutama Cerebral Palsy di seluruh Inggris sejak dahulu hingga sekarang.

Perhatian masyarakat di seluruh dunia dengan anak luar biasa semakin mempercepat laju perkembangan pertolongan dan pelayanan pendidikan bagi anak tunadaksa. Cepat laju perkembangan tersebut juga terjadi di Indonesia. Perkembangan layanan pendidikan bagi anak tunadaksa di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Rehabilitasi Centrum (RC) di Surakarta dibawah naungan Departemen Sosial dan Departemen Pertahanan yang didirikan oleh Prof. Dr. Soeharso tahun 1946 yang kini bernama Panti Sasana Bina Daksa dan terletak di belakang rumah sakit Moewardi, Surakarta. Pada mulanya, Rehabilitasi Centrum atau Panti Sasana Bina Daksa ini memberikan perawatan dan rehabilitasi orang – orang dewasa yang menderita cidera pada anggota gerak akibat perang (eks-pejuang), seperti operasi ortopedi, pemberian alat bantu penguat tubuh (orthosis). Semakin lama pengunjung Rehabilitasi Centrum tidak hanya para eks-pejuang atau korban perang saja, tetapi juga penderita cacat usia anak – anak, maka pada tanggal 5 Februari 1953 Dr. Seoharso bersaa dengan organisasi ibu – ibu Surakarta mendirikan Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC) yang bertempat di Jl. Slamet Riyadi 364, Surakarta. YPAC ini khusus untuk memberikan pertolongan bagi anak cacat (tunadaksa) usia anak – anak. Pada awalnya YPAC hanya memusatkan perhatian pada bidang perawatan anak cacat tubuh, akan tetapi dalam perkembangannya YPAc juga menangani aspek sosial dan pendidikan, termasuk juga untuk anak Cerebral Palsy. YPAC yang berlokasi di Surakarta akhirnya membuka cabang di beberapa kota di Indonesia seperti Surabaya, Bandung, Semarang, dan Jakarta. Pada mulanya YPAC yang berlokasi di Surakarta berstatus sebagai kantor pusat. Namun setelah kantor pusat YPAC dipindahkan di Jakarta, YPAC Surakarta berstatus menjadi cabang.
Unit pendidikan yang dikelola YPAC sebenarnya tidak hanya anak – anak Cerebral Palsy, melainkan juga anak – anak cacat fisik lain, seperti polio, muscle dystropy, congenital anomaly, dan lainnya. Menurut kurikulum SLB/D tahun 1977 dan Kurikulum SLB/D yang disempurnakan tahun 1984, lembaga pendidikan yang khusu mendidik anak – anak tunadaksa atau Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian D terdiri atas dua unit, yaitu SLB/D (unit polio) dan SLB/D1 (unit Cerebral Palsy). Perkembangan terakhir menurut Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 0126/U/1994 tentang Kurikulum PLB 1994, maka satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak Cerebral Palsy termasuk PLB jenis kelainan Ganda.
Pada tanggal 8 Agustus 1954 dibuka sekolah YPAC mulai dari tingkat Taman Kanak – Kanak (TK) hingga Sekolah Rakyat yang sekatang telah berubah nama menjadi Sekolah Dasar (mulai dari kelas 1 hingga kelas 6). SMP YPAC didirikan pada tahun 1970 dan SMP LB didirikan pada tahun 1977. Kebanyakan anak yang bersekolah di YPAC menderita polio atau cacat fisik lain dengan intelegasi normal dan cerebral palsy.

Pada bidang pendidikan telah terjadi perubahan layanan pendidikan berintegrasi dengan anak normal dalam kelas dan sekolah. Konsep pendidikan baru ini dimulai di Scandinavia (1968), kemudian berkembang di Amerika Serikat lalu diikuti oleh negara – negara lain.
Bentuk – bentuk pendidikan integrasi dilihat dari bentuk pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
Ø Integrasi penuh (integrasi fungsional)
ALB dapat mengikuti seluruh bidang studi di kelas anak – anak normal, tetapi mereka hanya mendapatkan pelayanan khusus dalam aspek mengatasi jenis dan tingkat kecacatannya.
Ø Integrasi sebagian (integrasi sosial)
Sebagian bidang studi dapat diikuti bersama – sama anak normal di kelas biasa dan sebagian diikuti di kelas sendiri, mereka tetap mendapatkan pelayanan khusus untuk mengatasi mesing – masing jenis dan tingkat kelainan yang disndang.
Ø Integrasi lokasi (integrasi lingkungan fisik)
ALB dididik bersama – sama dala satu gedung yang menjadi satu dengan anak – anak normal, tetapi dala pelajaran bidang – bidang studi semuanya terpisah dalam ruangan yang berbeda. Mereka hanya berada satu lokasi dengan anak normal pada saat – saat istirahat, upacara, dan kegiatan lain yang sejenis. (M. Amin, 1994)

Kecenderungan baru dalam konsep pendidikan integrasi bukan berarti sekolah – sekolah khusus akan ditiadakan. Karena sekolah khusus (TKLB, SDLB, SLTPLB, dan SMLB) tetap akan diperlukan bagi anak – anak yang karena kondisinya tidak mungkin diintegrasi.


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
ü  Dr. William John Little merupakan seoranng ahli ilmu kedokteran yang pertama kali tertarik meneliti dan menolong anak – anak yang menunjukkan gejala spastik diplegia pada tahun 1861.
ü  Berdirinya rumah sakit yang menerima pasien - pasien tunadaksa di Boston tahun 1862, yang kemudian menyebar ke negara-negara lain.
ü  Di Amerika Serikat, Winthrop Phelps dan Earl Carlson merupakan praktisi bbidang kedokteran yang memberikan pertolongan kepada anak tunadaksa. Materi pembelajaran yang diajarkan ialah latihan sensomotoris, latihan sosialisasi, dan beberapa bentuk kegiatan praktis atau Activity Daily Living. Untuk anak Cerebral Palsy diberikan pendidikan vokasional seperti menjahit, fotografi, membuat boneka, dan reparasi jam. Baru tahun 1945 berdiri sekolah swasta yang bernama School of Earl Carlson di Hampton Timur dan Children’s Rehabilitation Centre di Cockeyville.
ü  Di Australia, Mr. dan Mrs. Mcleod adalah pelopor pertama pemberian pertolongan dan pelayanan bagi anak tunadaksa di Australia. Tahun 1946 Pusat Pelayanan Anak Cerebral Palsy di Adelaide dilengkapi dengan sekolah untuk anak Cerebral Palsy (Spastic School). Dalam perkembangannya, sekolah Spastic School dolengkapi dengan Taman Kanal – Kanak Cerebral Palsy (Kindergartin). Seluruh peserta didik akan mendapatkan pertolongan dari ahli terapi okupasional. Pada umumnya pendiri pusat pelayanan anak Cerebral Palsy dimulai oleh pihak swasta atau yayasan yang setelah berdiri biaya penyelenggaraannya dibantu oleh Departemen Pendidikan negara Australia.
ü  Di Inggris, tahun 1941, Henry Weston merupakan orang pertama yang memberikan pelayanan dan pertolongan pada anak tunadaksa (Cerebral Palsy), sekaligus menyelenggarakan asrama bagi anak – anak tunadaksa. Tahun 1948, jumlah sekolah untuk anak tunadaksa bertambah dua buah, yaitu Westerlea di Edinberg dan Carlson House School di Birmingham.

ü  Di Indonesia, tahun 1946 berdiri Rehabilitasi Centrum (RC) di Surakarta oleh Prof. Dr. Soeharso. Kemudian berkembang dengan didirikannya YPAC pada tanggal 5 Februari 1953 oleh Prof. Dr. Soeharso yang memusatkan perhatian pada bidang perawatan anak cacat tubuh, aspek sosial, dan pendidikan bagi anak tunadaksa. Setelah itu baru berkembang ke kota – kota lain di seluruh Indonesia seperti Semarang, Surabaya, Bandung, Jakarta, Ujung Pandang, dan lain – lain dengan kantor pusat yang berada di Surakarta. Terdapat konsep pendidikan baru bagi anak tunadaksa yang berupa pendidikan integrasi.

B.       Saran
1.         Adanya peningkatan kualitas pelayanan pendidikan bagi anak dengan gangguan motorik atau anak tunadaksa
2.         Adanya peningkatan sarana dan prasarana yang dapat menunjang pelayanan pendidikan bagi anak dengan gangguan motorik atau anak tunadaksa
3.         Adanya penyediaan kesempatan kerja bagi anak dengan gangguan motorik atau anak tunadaksa


DAFTAR PUSTAKA

Somantri, Sutjihati. 1996. Psikologi Anak Luar Biasa. Depdikbud: Jakarta
Choiri, Salim. 1996. Pendidikan Bagi Anak Cerebral Palsy. Depdikbud: Surakarta
Hasil Observasi Lapangan di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Surakarta





SINDROM ASPERGER


A.      Pengertian
Sindrom asperger merupakan gangguan kejiwaan pada diri seseorang yang ditandai dengan rendahnya kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi. Penyakit kejiawaan ini ditemukan oleh Hans Asperger, seorang dokter yang berkebangsaan Austria, pada tahun 1944. Di tahun yang sama (1944), Hans Asperger menerbitkan sebuah makalah yang menjelaskan pola perilaku beberapa anak laki – laki dengan tingkat intelegensi dan perkembangan bahasa normal. Namun, anak itu juga memperlihatkan pola- pola perilakunya yang unik, yakni mirip autisme : memiliki kekurangan dalam hubungan sosial dan kecakapan komunikasi.
Asperger merupakan varisi autis yang paling ringan. Para penderita sindrom asperger memiliki kondisi striktural otak secara keseluruhan lebih baik dibandingkan dengan penderita autisme. Seorang penyandang sindrom asperger dapat memperlihatkan bermacam – macam karakter dan gangguan. Hanya saja pada umumnya, seorang penderita sindrom asperger memperlihatkan kekurangan dalam bersosialisasi, mengalami kesulitan jika terjadi perubahan, dan selalu melakukan hal – hal yang sama secara berulang – ulang. Seorang penderita sindrom asperger sering terobsesi oleh rutinitas dan menyibukkan diri dengan sesuatu aktivitas yang menarik perhatiannya. Selain itu, penderita sindrom asperger juga mengalami kesulitan dalam membaca aba – aba (bahasa tubuh) dan mengalami kesulitan dalam menetukan posisi badan dalam ruangan (orientasi ruang dan bentuk).
Jika dibuat rumus, maka :
Kecakapan sosialisasi rendah + Kecakapan komunikasi rendah = Ciri utama      
                              
B.       Karakteristik Anak Sindrom Asperger
1.    Sebagian besar penderita sindrom asperger memiliki IQ rata – rata, bahkan ada beberapa yang memiliki IQ di atas rata – rata
2.    Penderita sindrom asperger memiliki gangguan emosional
3.    Pennyandang sindrom asperger lebih suka menyensiri dan sulit untuk bersosialisasi
4.    Penyandang sindrom asperger  memiliki pola berbicara yang tidak biasa
5.    Penyandang sindrom asperger juga mengalami kesulitan untuk membaca bahasa tubuh orang lain
Seorang anak baru bisa terdeteksi menyandang sindrom asperger pada saat berusia antara 6 hingga 11 tahun. Sindrom asperger dengan autis memiliki persamaan, yaitu sama – sama mengalami kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang lain. Adapun perbedaannya, yaitu penyandang sindrom asperger memiliki IQ rata – rata atau di atas rata – rata, sedangkan penyandang autis memiliki IQ di bawah rata – rata.
Berikut ini adalah karakteristik penyandang sindrom asperger dalam belajar dan berperilaku, yaitu :
1.    Sindrom asperger merupakan suatu sifat khusus yang ditandai dengan kelemahan kualitatif dala, berinteraksi sosial. Seorang penyandang sindrom asperger dapat bergaul dengan orang lain, namun ia tidak mempuyai keahlian berkomunikasi dan ia akan mendekati orang lain dengan cara yang ganjil. Penyandang sindrom asperger sering kali tidak mengerti akan kebiasaan sosial yang ada dan secara sosial akan tampak aneh, sulit berempati, dan salah mengunterpretasikan gerakan – gerakan. Penyandang sindrom asperger sulit belajar bersosialisasi, sehingga memerlukan suatu instruksi yang jelas untuk dapat bersosialisasi.
2.    Anak – anak penyandang sindrom asperger biasanya berbicara lancar saat mencapai usia 5 tahun. Namun, mereka sering mempunyai masalah dalam menggunakan bahsa dalam konteks sosial (pragmatik) dan tidak mampu mengenali sebuah kata yang memiliki arti yang berbeda – beda (semantik) serta khas dalam berbicara / prosodi (tinggi – rendahnya suara, serta tekanan dalam dalam berbicara). Anak penyandang sindrom asperger bisa jadi memiliki perbendaharaan kata yang lebih dan sering tak henti – hentinya berbicara mengenai suatu subjek yang ia sukai. Topik pembicaraan sering dijelaskan secara sempit dan orang itu mengalami kesulitan untuk berpindah ke topik lain. Mereka dapat merasa sulit berbicara teratur. Penyandang sindrom asperger dapat memotong pembicraan orang lain, atau memberikan komentar yang tidak relevan secara mengalami kesulitan untuk memulai dan mengakhiri suatu pembicaraan. Cara berbicaranya kurang bervariasi dalam hal tinggi – rendahnya suara, tekanan, dan irama. Apabila anak tersebut telah mancapai usia lebih dewasa, cara berbicaranya sering terlalu formal. Kesulitan dalam berkomunikasi sosial dapat terlihat dari cara berdiri yang terlalu dekat dengan orang lain, memandang lama, postur tubuh yang tidak normal, dan tidak dapat memahami gerakan – gerakan dan ekspresi wajah.
3.    Anak penyandang sindrom asperger memiliki kemampuan intelegensi normal sampai di atas rata – rata, dan terlihat berkemampuan tinggi. Kebanyakan dari mereka cakap dalam memperdalam ilmu pengetahuan dan sangat menguasai subjek yang mereka sukai dan pernah ia pelajari. Namun, mereka lemah dalam hal pengertian dam pemikiran abstrak, juga dalam pengenalan sosial. Sebagai akibatnya, mereka mengalami kesulitan akademis, khususnya dalam kemampuan membaca dan mengerti apa yang dibaca, menyelesaikan masalah, kecakapan berorganisasi, pengembangan konsep, membuat kesimpulan, dan menilai. Ditambah pula, mereka sering kesulitan untuk bersikap lebih fleksibel. Pemikiran mereka cenderung lebih kaku. Mereka juga sering mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, sulit menerima kegagalan yang dialaminya, dan tidak siap belajar dari kesalahan – kesalahannya,
4.    Diperkirakan bahwa 50% - 90% dari penyandang sindrom asperger mempunyai kesulitan dalam koordinasi motoriknya. Motorik yang terkena dalam hal melakukan gerakan yang berpindah – pindah (locomotion), kecakapan bermain bola, keseimbangan, cakap menggerakkan sesuatu dengan tangan, menulis dengan tangan, gerak cepat, persendian lemah, irama serta daya mengikuti gerakan – gerakan.
5.    Seorang penyandang sindrom asperger memiliki kesamaan sifat dengan enyandang autisme, yaitu dalam menanggapi rangsangan sensori. Mereka bbisa menjadi hipersensitif terhadap beberapa rangsanagn tertentu dan akan terikat pada suatu perilaku yang tidak biasa dalam memperoleh suatu rangsangan sensori yang khusus.
6.    Seorang penyandang sindrom asperger biasanya kelihatan seperti tidak memperhatikan lawan jenis bicara, mudah terganggu konsengtrasinya dan dapat dikategorikan sebagai penyandang ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) sewaktu di-diagnosis dalam masa kehidupan mereka.
7.    Rasa takut yang berlebihan juga merupakan salah satu sifat yang dihubungkan dengan penyandang sindrom asperger. Mereka akan sulit belajar menyesuaikan diri dengan tuntutan bersosialisasi di sekolah. Instruksi yang baik dan benar akan membantu meringankan tekanan – tekanan yang dialaminya.

Gangguan sindrom asperger ada umumnya akan terus mengikuti perkembangan usia seseorang. Meskipun tidak membahayakan jiwa, gangguan itu bisa membuat anak takut berada di keramaian dan membuat anak depresi. Para ahli mengatakan bahwa penyandang sindrom asperger biasanya akan menetap seumur hidup. Namun, gejala tersebut dapat dikurangi dan diperbaiki dalam kurun waktu tertentu, terutama deteksi.

C.      Cara Penanganan
Sebagian orang menganggap bahwa sindrom aspetrger adalah mild autis (autis ringan), treatment, dan intervensi tetap harus dilakukan. Sebagian besar program terapi untuk anak sindrom asperger biasanya bersifat direct teaching (langsung) dibuat untuk memperbaiki skill yang mereka belum kuasai misalnya di bidang sosialisasi, mengerjakan / menyelesaikan pekerjaan sekolah, dan cara membagi waktu (time management). Anak sindrom asperger juga sangat terbantu jika banyak dilibatkan dalam kegiatan sosial, seperti belajar dalam kelompok kecil (support group), sport club. Dalam kegiatan – kegiatan tersebut, mereka dapat berlatih, share experience, dan saling belajar dari teman mereka. ada juga satu terapi yang cukup baik untuk anak sindrom asperger yaitu RDI (Relationship Development Intervention).
Penanganan anak sindrom asperger adalah mengikuti beberapa terapi. Apabila sindrom asperger pada seseorang bisa terdeteksi di bawah 5 tahun atau 6 tahun, kemungkinan untuk sembuh sangat besar. Karena pada usia tersebut otak masih berkembang. Tentu saja dengan pemberian obat secara rutin. Apabila sindrom asperger terlambat dideteksi, penanganannya sangat sulit, karena otak sudah berhenti berkembang. Pada umur 6 tahun, bagian otak yang disebut sinaps-sambungan antarsaraf yang bahan kimia serotonin bekerja-akan berhenti.
Penanganan yang cukup mudah dilakukan oleh para orang tua yang anaknya mengidap dindrom asperger adalah dengan mengajaknya barmain dan bersosialisasi. Permainan akan menstimulasi otak dan otak tersebut akan memperbaiki sinaps dan meningkatkan kadar serotonin di otak.
Pengidap sindrom asperger harus terus dilatih kemampuan bersosialisasinya. Para pengidap sindrom asperger memiliki IQ rata – rata, maka untuk mengajarkan bersosialisasi akan lebih mudah.
Berikut macam – macam terapi yang bisa dilakukan untuk para pengidap sindrom asperger, yaitu :

1.    Pelatihan dan pendidikan untuk para orang tua
Para orang tua harus lebih mengetahui tentang sindrom asperger agar proses penyembuhan pada penyandang sindrom asperger lebih cepat. Peran orang tua pengaruhnya sangat besar bagi para penyandang sindrom asperger.
2.    Intervensi pendidikan khusus untuk anak
                        Para anak penyandang sindrom asperger harus dididik secara khusus, terutama dalam bersosialisasi.
3.    Pendidikan keahlian sosialisasi
Penyandang sindrom asperger harus sering dilatih untuk bersosialisasi agar gangguan emosional mereka bisa berkurang. Mereka tidak merasa depresi pada saat bersosialisasi dengan orang lain.
4.    Terapi bahasa
Penyandang sindrom asperger harus melakukan terapi bahasa agar mereka mampu menyusun perbendaharaan kata dan mampu untuk mengerti bahasa yang diucapkan oleh orang lain.
5.    Terapi okupasi
Terapi okupasi adalah suatu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari rehabilitasi medis. Penekanan terapi ini adalah pada sensorimotorik dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi, dan menginhibisi lingkungan. dengan demmikian, akan tercapai peningkatan, perbaikan, dan pemeliharaan kemampuan anak.
Para penyandang sindrom asperger melakukan terapi okupasi untuk melatih integrasi pancaindera.
6.    Pengobatan
Para penyandang sindrom asperger dapat diberi obat – obatan untuk mempercepat proses stimulasi di otak.
7.    Terapi sesnsori integrasi
Berguna bagi penyandang sindrom asperger yang masih anak – anak untuk meminimalkan kondisinya yang terlalu sensitif.

Terapi Kogniitif atau Psikoterapi
     Berguna bagi anak – anak penderita sindrom asperger yang lebih tua. Untuk psikoterapi para orang tua harus banyak berkonsultasi kepada para ahli.
     Memang penyandang sindrom asperger tidak bisa disembuhkan secara total. Di antara macam – macam terapi di atas, sebenarnya peran orang tua sangat penting dan sangat mendukung proses penyembuhan anak – anak penyandang sindrom asperger. Peranan orang tua dalam proses bersosialisasi anak – anak penderita sindrom asperger sangat berguna. Hanya orang tua mereka yang bisa memahami dan membantu mereka secara maksimal. Anak – anak penyandang sindrom asperger akan lebih merasa lebih nyaman bersosialisasi ketika mereka didampingi oleh orang tua mereka. dengan didampingi orang tua, mereka akan merasa menjadi manusia normal dan bisa hidup layak seperti anak pada umumnya.
     Penyandang sondrom asperger membutuhkan pendidikan khusus. Mereka termasuk ke dalam anak berkebutuhan khusus atau yang biasa disebut ABK. Mereka bisa dididik di Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah yang menyediakan fasilitas pendidikan inklusi.
     Peranan para pendidik juga sangat penting. Para pendidik harus bisa menumbuhkan rasa percaya diri pada anak – anak penyandang sindrom asperger ini. Cara yang bisa dilakukan oleh para pendidik sangat banyak. Misalnya, para pendidik bisa memaksimalkan kreativitasnya. Kreativitas anak penyandang sindrom asperger sangat mudah untuk diasah. Mereka memiliki IQ rata – rata bahkan di atas rata – rata.
     Sindrom asperger bulan akhir segalanya. Seseorang dengan sindrom asperger bisa dimaksimalkan kreativitasnya karena memiliki IQ rata – rata. Jadi, sindrom asperger bukan halangan untuk berkreativitas dan bersosialisasi.

Sumber : Buku Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus, disunting oleh E.Kosasih