Selasa, 25 Juni 2013

Dampak Sosial dan Dampak Pendidikan Anak ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)







 
Oleh: Yossy Srianita, Praktisi dan Pemerhati Pendidikan PAUD. Konsultan di Sekolah Alam dan Sains Aljannah Islamic Fullday School Cibubur, Jakarta


Pendidikan yang bermutu mampu memberi konstribusi untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam mendapatkan layanan pendidikan yang layak seperti anak-anak typical pada umumnya. Secara nasional maupun internasioanl, saat ini pemerintahan sudah membuat aturan dan perundangan-undangan tentang Anak Berkebutuhan khusus, untuk mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan anak-anak diseluruh dunia. Tentu saja dalam memberikan pelayanan, perawatan dan pendidikan ABK tidaklah semudah yang dibayangkan. Hal ini memerlukan keterlibatan, keluarga sebagai pusat pelayanan anak, guru, tenaga kependidikan dan professional. Bermula dari lingkungan keluarga, anak-anak berkebutuhan khusus tentu mendapatkan perhatian lebih. Pertanyaan kita, apakah keluarga cukup mampu berperan secara optimal dalam memenuhi kebutuhan ABK. Salah satu contoh kebutuhan khusus AUTIS. Sebelum masuk ke wilayah treatment diluar keluarga, ABK “jenis apapun” tentunya mengalami dampak psiko-sosial dan dampak pendidikan baik dampak negative maupun positif dari kekhususan ini, seperti :

DAMPAK SOSIAL

Dampak negative   :
Kelemahan pada factor psikologis, beberapa orangtua dari ABK ini mengalami ketidaknyamanan secara social baik dilingkup keluarga besar maupun dalam masyarakat, antara lain : Ada rasa malu/tidak PD bila membawa anak mereka ke lingkungan keluarga besar atau masyarakat seperti dilingkungan tetangga, sering terjadi apabila ada pertemuan keluarga mereka memilih tidak tidak hadir. Sehingga dampaknya pada anak tidak membangun hubungan social dengan oranglain selain keluarga inti. Merasa anak ABK memiliki kekurangan, sehingga tidak yakin lingkungan akan menerima anak ini, dampaknya pada anak tidak memiliki pengalaman berada dilingkungan yang berbeda (kurang stimulus social), semakin menghambat potensi anak untuk mengembangkan kemampuan interaksi sosial sesuai tahap perkembangannya. Walaupun kita tahu secara umum ABK mengalami kesulitan bersosialisasi. Dengan fakta ini akan lebih menghambat kemampuan interaksi sosialnya. Orangtua merasa enggan untuk memasukkan anak ke sekolah karena beberapa pertimbangan : malu, keuangan yang minim karena mahalnya biaya pendidikan, minimnya pengetahuan dan pengalaman orangtua tentang sekolah inklusi, masih sedikit sekolah regular yang menerima ABK karena kendala operasinal.

Dampak positive   :                                                                                
Anak berkebutuhan Khusus sama dengan  anak-anak pada umumnya, mereka mendapatkan hak yang sama dalam layanan pendidikan. Dengan adanya anak-anak dengan ABK lahir ke dunia ini dampak positive  adalah : Membelajarkan manusia dewasa dan anak-anak bagaimana hidup berdampingan secara social dengan anak berkebutuhan khusus, membelajarkan keluarga bagaiamana memperlakukan ABK, membelajarkan guru, lingkungan masyarakat dalam berinteraksi social dan menerima ABK secara wajar. Belajar sikap-sikap social yang positif seperti : kasih sayang, menghargai, menolong, empati, berbagi, sehingga lingkungan yang kondusif ini akan sangat membantu perkembangan anak ABK, apapun jenisnya. Oleh karena itu kita harus membangun persepsi diseluruh dimensi yang terlibat dalam pendidikan, bahwa yang harus kita lakukan adalah mensosialisasikan pada masyarakat bahwa ABK merupakan sumber belajar nilai-nilai social positif yang amat sangat berarti dilingkungan.

DAMPAK PENDIDIKAN

Dampak negative     :
Operasional pendidikan ABK dengan biaya tinggi, berdampak pada keluarga yang tidak mampu sehingga tidak dapat menikmati layanan pendidikan yang layak dan tepat. Hanya orang-orang tertentu yang mendapatkan pelayanan pendidikan ABK ini, sementara aturan dan perundang-undangan memberikan hak pendidikan untuk setiap anak termasuk ABK.
Terlihat juga disini dampak aturan dan perundang-undangan tersebut terhadap  layanan pendidikan ABK, jika belum ada solusi atau gambaran yang jelas tentang operasional pendidikan untuk sekolah-sekolah tentang penyelenggaraan pendidikan ABK atau disebut SEKOLAH INKLUSI. Tidak semua sekolah di Indonesia mampu menyelenggarakan operasional pendidikan sekolah Inklusi, sebab kita tahu banyak hal yang harus disiapkan untuk seperti : alat, media, perlengkapan, sarana prasarana, terapi dan tenaga professional untuk memberikan layanan pendidikan yang berkualitas. Kurangnya sosialisasi tentang layanan pendidikan inklusi pada masyarakat, berdampak pada harapan orangtua ABK, agar anak mereka dapat sembuh setelah mendapatkan pendidikan dan memiliki kemampuan seperti anak-anak typical lainnya. Sehingga dampaknya adalah memaksakan anak ABK untuk mencapai target-target tertentu terutama secara akademik. Hal ini terlihat dari tuntutan orangtua murid ABK pada sekolah-sekolah regular atau sekolah inklusi. Banyak terjadi di lapangan, tuntutan orangtua yang berlebihan, misalnya di PAUD : “setelah anak saya selesai di kelompok A, saya mau dia bisa di kelompok B karena saya mau tahun depan umurnya 7 tahun anak saya sudah di sekolah dasar”. Kasus ini banyak sekali terjadi sehingga orangtua tidak lagi menyadari sebenarnya kebutuhan anak mereka. Tentu ini berdampak pada anak. Dampak pendidikan pada ABK tidak lagi mempertimbangkan perkembangan anak dan kebutuhan khusus mereka.

Dampak Positive     :                                                                                     
Dampak pada pendidikan dengan terlahirnya anak-anak berkebutuhan khusus,  tentu memungkinkan lahir ide-ide baru, untuk pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah regular dan melahirkan sekolah inklusi. Sebab keadaan saat ini sudah menjadi sorotan tajam dalam dunia pendidikan. Misalnya munculnya alat, media, sumber belajar untuk memberikan treatment yang  tepat pada ABK kebutuhannya. Seperti : alat permainan untuk terapi motorik anak autis. Mau tidak mau, dampak positivenya akan melahirkan sekolah-sekolah inklusi mulai dari yang sangat sederhana atau regular sampai sekolah inklusi dengan program berkualitas dan biaya opeasional yang tinggi. Tentu dengan berkembangnya pengetahuan masyarakat tentang ABK dan sekolah inklusi, maka semakin meningkat pula minat masyarakat untuk memberikan layanan pendidikan ABK yang berkualitas untuk anak-anak mereka. Dengan demikian maka diharapkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dapat memfasilitasi sekolah-sekolah inklusi dengan pembekalan keilmuan pada guru, orangtua dan tenaga kependidikan yang nantinya diharapkan  mampu memberdayakan ABK setelah mereka mendapatkan layanan pendidikan berkualitas. Pembekalan pengetahuan dan penyediaan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran ABK.
Guru dapat melakukan beragam  cara untuk mengeleminasi dampak negative dan mempromosikan dampak positive. Dapat dilakukan dengan perubahan berorientasi keluarga,  yaitu memandang keluarga sebagai pelaksana penting dalam upaya membantu anak, dan tenaga professional harus bekerja bersama keluarga serta memunculkan konsep tersebut dalam literature akademik. Hal ini merupakan  pengakuan bahwa perlakuan dapat berdampak terhadap perkembangan dan kompetensi anak jika pengaruh pihak-pihak lain dalam lingkungan anak secara aktif berpartisipasi dalam upaya memanfaatkan dan mengembangkan keterampilan anak melalui aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan tersebut, antara lain : 
  • Pemberdayaan (empowering), memberikan bantuan kepada keluarga bagaimana mengenali ABK melalui kegiatan pembekalan pengetahuan dan identifikasi awal anak melalui tes kesehatan terpadu dan kontiniu dengan  kerjasama pihak-pihak terkait, seperti medis, terutama puskesmas sebagai pusat layanan kesehatan yang mudah terjangkau oleh seluruh kalangan masyarakat, sehingga keluarga tidak lagi khawatir dengan kendala pembiayaan pada saat dilakukan intervensi fisik anak.  Pihak-pihak terkait lainnya mungkin PLB, membekali dasar-dasar identifikasi ABK pada keluarga. Dengan pemberdayaan keluarga ini dapat mengembangkan sendiri, menentukan dengan rasa percaya diri dan kemampuan untuk bertindak dalam kehidupannya sendiri. Artinya kita benar-benar memberdayakan keluarga untuk mampu memberikan pelayanan dalam bentuk aktivitas dan rutinitas di lingkungan rumah.
  • Pemupukan (enabling), menciptakan kesempatan untuk keluarga mendapatkan sumber-sumber kekuatan sendiri, membangun sumber-sumber tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan anaknya. Ini dapat dilakukan dengan  membuat kumpulan atau organisasi orangtua, guru dan professional. Memungkinkan organisasi ini merancang aktifitas social seperti : menggalang dana untuk penyediaan sarana dan prasarana terapi di sebuah sekolah, atau menyelenggarakan event untuk pembekalan untuk guru-guru seperti : seminar tentang ABK, pameran hasil karya anak dan talkshow penampilan bakat anak dan lain-lain. Hal diharapkan mampu memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa keluarga dapat memenuhi kebutuhan anaknya dengan berbagai cara bermakna dan menghasilkan untuk kelangsungan layanan pendidikan pada anak-anak ABK. Kemitraan (partisipasi) sudah pasti program ini kerjasama dengan berbagai pihak terkait (pemerintahan, professional, guru dan orangtua untuk membangun sikap positif terhadap bekerjasama secara aktif untuk meningkatkan hasil, bagi anak maupun keluarga, melebihi apa yang dapat di capai dalam bentuk perlakuan.
Berdasarkan uraian dari dampak yang muncul dengan lahirnya anak-anak kita yang special, akan semakin membangun motivasi kita secara psiko-sosial dan pendidikan. Ini semua sudah menjadi ketentuan Allah sang Kholiq, dengan segala kelebihan yang mereka miliki. Sebagai orang dewasa yang berada dilingkungan mereka, tentu menjadi fasilitator dan motivator untuk membangun dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Tidak ada satupun anak dilahirkan ke dunia tanpa memiliki potensi. Kepada semua pihak yang terlibat dalam pendidikan terutama orangtua dan keluarga sebagai pendidik utama selayaknya berbangga hati, menggali dan menemukan potensi-potensi dan kekayaan yang dimiliki anak-anak manapun, termasuk ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Penerimaan dan treatment yang kita berikan pada  semua anak-anak kita dengan segala kelebihan /fitrah yang dibawanya sejak lahir akan  membantunya untuk berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Menggali potensi itu dengan berbagai stimulasi  yang sesuai, misal : terapi dan memasukkan ke sekolah-sekolah regular atau sekolah inklusi, melayani dengan penuh cinta dan sabar, dan yang terpenting melayani dengan paham dan membantu anak-anak kita menjadi pribadi yang siap layan diri. Suatu hari anak-anak  hidup pada zaman yang berbeda dengan kita, dan mungkin kita sudah tidak bisa mendampingi mereka lagi maka berbuatlah dari sekarang juga untuk anak-anak kita. Pentingnya kekuatan doa dibalik semua usaha untuk itu. Sukses selalu untuk kita semua para pendidik.


Sumber : http://edukasi.kompasiana.com/2010/04/14/dampak-social-dan-dampak-pendidikan-anak-abk-anak-berkebutuhan-khususnya/

Minggu, 02 Juni 2013

Teori Belajar Humanistik


a.         Pengertian

Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengedepankan potensi dirinya.

Proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan si yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya elektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.

b.        Tokoh dan Pendapat

v   Kolb, membagi tahap – tahap belajar menjadi 4, yaitu :
Ø Tahap pengenalan konkret, merupakan tahap paling awal dalam peristiwa belajar di mana seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Seorang individu hanya dapat merasakan suatu peristiwa terjadi, tetapi belum bisa mengetahui hakikat dan alasan mengapa peristiwa tersebut terjadi.
Ø Tahap pengalaman efektif dan reflektif, bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Pada tahap ini seorang individu akan mulai mencari jawaban yang berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa, dan melakukan reflektif mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap ke dua dalam proses belajar.
Ø Tahap konseptualisasi, bahwa seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya.
Ø Tahap eksperimenaktif, bahwa seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
v   Honey dan mumford, menggolongkan siswa dalam belajar menjadi empat, yaitu : aktifis (seseorang yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru), reflektor (seseorang yang sangat hati – hati dan penuh pertimbangan), teoris (seseorang yang tegas, suka berpikir kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya) dan pragmatis (seseorang yang memiliki sifat-sifat praktis, tda suka berpanjang lebardengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil).
v   Habermas, membedakan tiga macam atau tipe belajar, yaitu : belajar teknis (belajar bagaimana seseorang dapat beinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar), belajar pragtis (belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik) dan belajar emansipatoris (upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau informasi budaya dalam lingkungan sosialnya).
v   Bloom dan Krathwohl, menggolongkan dengan tiga kawasan tujuan belajar yaitu :
ü Kognitif, terdiri dari : Pengalaman (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu); Merespon (aktif berprtisipasi); Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu); Pengorganisasan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya); dan Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)
ü Psikomotor
ü Afektif
v   Ausubel, walaupun termasuk dalam aliran kognitifisme, tetapi ia terkenal dengan konsepnya belajar bermakna (Meaning Learning)
v   Carl Roger, membedakan belajar menjadi dua, yaitu : belajar yang bermakna (terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik), dan belajar yang tidak bermakna (terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta didik)
v   Arthur Combs, menyatakan bahwa belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
v   Maslow, mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.



c.         Implementasi

Guru sebagai fasilitator, di mana guru membantu siswa dalam belajar dan menerapkan rencana pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kemampuan siswa tersebut. Menerapkan langkah – langkah pembelajaran dengan sistematis.
Langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001), sebagai berikut :
·           Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
·           Menentukan materi pembelajaran.
·           Mengidentifikasi kemampuan awal (entri behvior) siswa.
·           Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
·           Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
·           Membimbing siswa belajar secara aktif.
·           Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
·           Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
·           Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
·           Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Selain itu, guru sebagai fasilitator diuraikan sebagai berikut :
1.    Guru sebagai fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal kelompok atau pengalaman kelas.
2.    Guru sebagai fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan – tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan – tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.    Guru sebagai fasilitator juga mempercayai adanya keinginan dari masing – masing siswa untuk melaksanakan tujuan – tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan dan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.    Guru sebagai fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber – sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.    Guru sebagai fasilitator menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan ileh kelompok.
6.    Guru sebagai fasilitator dapat menanggapi ungkapan – ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap – sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi denagn cara yang sesuai dan baik bagi individual maupun kelompok.
7.    Bilamana suasana aau cuaca penerimaan kelas telah siap dengan mantap, guru sebagai fasilitator berangsur – angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
8.    Guru sebagai fasilitator juga mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.

SISWA YANG SANGAT CERDAS SECAR INTELAKTUAL


Walapun sejumlah anak yang sangat cerdas secara alamiah bersifat kooperatif dan santai, beberapa anak cerdas lain bersifat agresif, sulit diatur, dan berkeinginan kuat.
—Deborah L.Ruf

Pada tahun 1895, Cesare Lombroso menerbitkan suatu buku yang berjudul The Man of Genius. Argumen utamanya adalah, “manusia dengan kecerdasan sedang” adalah idaman alam, dan deviasi ke yang lebih baik atau lebih buruk—baik secara fisik atau mental—adalah kesalahan alam. Dengan menyebut orang terkenal tertentu sebagai bukti, Lombroso menulis bahwa “tanda degenerasi dalam diri manusia yang genius” mencakup tubuh yang kurus, warna kulit yang pucat, rakhitis (yang menyebabkan kaki pengkor, kaki pincang, atau punggung bungkuk), tubuh yang pendek, kebotakan, berbicara dengan gagap, kepikunan, kemandulan, dan yang merupakan tanda pasti dari degenerasi otak, tangan kidal! Pesannya diterima secara luas, terutama karena Lombroso membantu orang biasa untuk merasa untuk merasa jauh lebih baik karena menjadi orang yang biasa.

            Buku Lombroso yang tampak otoritatif adalah latar untuk penelitian Terman yang terkenal pada tahun 1925. Sebelum Terman, beberapa orang mempertanyakan deskripsi Lombroso tentang “lelaki genius” sebagai orang dengan kekurangan fisik dan mental. Bahkan sekarang, orang lebih memilih untuk percaya bahwa superioritas intelektual itu disertai dengan fisik yang lemah dan sering sakit.
            Tetapi, Terman mendapati, biasanya, anak dengan IQ Stanford-Binet di atas 135 (sebagian besar di atas 140), secara psikologis stabil, lebih dapat bergaul, lebih sesuai secara fisik, dan bahkan lebih menarik. Dalam pendapat Terman dan Oden :

Rata – rata anggota kelompok kami adalah sosok yang agk lebih baik secara fisik daripada anak lain yanng biasa saja... Superioritas dri anak yang sangat cerdas atas anak yang tidak terpilih lebih besar dalam kemampuan membaca, menggunakan bahasa, anallisis aritmatika, sains, literatur, dan seni.