Minggu, 02 Juni 2013

Teori Belajar Humanistik


a.         Pengertian

Teori Belajar Humanistik adalah suatu teori dalam pembelajaran yang mengedepankan bagaimana memanusiakan manusia serta peserta didik mampu mengedepankan potensi dirinya.

Proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan si yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari pada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya. Dengan demikian teori humanistik dengan pandangannya elektik yaitu dengan cara memanfaatkan atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja mungkin untuk dilakukan, tetapi justru harus dilakukan.

b.        Tokoh dan Pendapat

v   Kolb, membagi tahap – tahap belajar menjadi 4, yaitu :
Ø Tahap pengenalan konkret, merupakan tahap paling awal dalam peristiwa belajar di mana seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Seorang individu hanya dapat merasakan suatu peristiwa terjadi, tetapi belum bisa mengetahui hakikat dan alasan mengapa peristiwa tersebut terjadi.
Ø Tahap pengalaman efektif dan reflektif, bahwa seseorang makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Pada tahap ini seorang individu akan mulai mencari jawaban yang berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa, dan melakukan reflektif mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap ke dua dalam proses belajar.
Ø Tahap konseptualisasi, bahwa seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek perhatiannya.
Ø Tahap eksperimenaktif, bahwa seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumus-rumus tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
v   Honey dan mumford, menggolongkan siswa dalam belajar menjadi empat, yaitu : aktifis (seseorang yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru), reflektor (seseorang yang sangat hati – hati dan penuh pertimbangan), teoris (seseorang yang tegas, suka berpikir kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya) dan pragmatis (seseorang yang memiliki sifat-sifat praktis, tda suka berpanjang lebardengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil).
v   Habermas, membedakan tiga macam atau tipe belajar, yaitu : belajar teknis (belajar bagaimana seseorang dapat beinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar), belajar pragtis (belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik) dan belajar emansipatoris (upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau informasi budaya dalam lingkungan sosialnya).
v   Bloom dan Krathwohl, menggolongkan dengan tiga kawasan tujuan belajar yaitu :
ü Kognitif, terdiri dari : Pengalaman (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu); Merespon (aktif berprtisipasi); Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu); Pengorganisasan (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya); dan Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)
ü Psikomotor
ü Afektif
v   Ausubel, walaupun termasuk dalam aliran kognitifisme, tetapi ia terkenal dengan konsepnya belajar bermakna (Meaning Learning)
v   Carl Roger, membedakan belajar menjadi dua, yaitu : belajar yang bermakna (terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran dan perasaan peserta didik), dan belajar yang tidak bermakna (terjadi jika dalam proses pembelajaran melibatkan aspek pikiran akan tetapi tidak melibatkan aspek perasaan peserta didik)
v   Arthur Combs, menyatakan bahwa belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan siswa. Untuk itu, guru harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada.
v   Maslow, mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.



c.         Implementasi

Guru sebagai fasilitator, di mana guru membantu siswa dalam belajar dan menerapkan rencana pembelajaran yang sesuai dengan minat dan kemampuan siswa tersebut. Menerapkan langkah – langkah pembelajaran dengan sistematis.
Langkah-langkah pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya Irawan (2001), sebagai berikut :
·           Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
·           Menentukan materi pembelajaran.
·           Mengidentifikasi kemampuan awal (entri behvior) siswa.
·           Mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif melibatkan diri atau mengalami dalam belajar.
·           Merancang fasilitas belajar seperti lingkungan dan media pembelajaran.
·           Membimbing siswa belajar secara aktif.
·           Membimbing siswa untuk memahami hakikat makna dari pengalaman belajarnya.
·           Membimbing siswa membuat konseptualisasi pengalaman belajarnya.
·           Membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi nyata.
·           Mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Selain itu, guru sebagai fasilitator diuraikan sebagai berikut :
1.    Guru sebagai fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal kelompok atau pengalaman kelas.
2.    Guru sebagai fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan – tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan – tujuan kelompok yang bersifat umum.
3.    Guru sebagai fasilitator juga mempercayai adanya keinginan dari masing – masing siswa untuk melaksanakan tujuan – tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan dan pendorong yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4.    Guru sebagai fasilitator mencoba mengatur dan menyediakan sumber – sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5.    Guru sebagai fasilitator menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan ileh kelompok.
6.    Guru sebagai fasilitator dapat menanggapi ungkapan – ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap – sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi denagn cara yang sesuai dan baik bagi individual maupun kelompok.
7.    Bilamana suasana aau cuaca penerimaan kelas telah siap dengan mantap, guru sebagai fasilitator berangsur – angsur dapat berperan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu seperti siswa yang lain.
8.    Guru sebagai fasilitator juga mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar